Laman

Rabu, 14 Desember 2011

ta'aruf dalam ajaran islam

Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah - taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
 Perbedaan taaruf dengan pacaran

   Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli mobil second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus mobil itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan mobil itu.
  Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir mobil yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf, seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi mobil itu sendiri.

Proses taaruf

Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak pria dan wanita dipersilakan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan cuma berdua saja. Harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi, taaruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.

Tujuan taaruf

Taaruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting. Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan cuma sekedar curi-curi pandang atau ngintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto, lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada salahnya untuk dilihat. Khusus dalam kasus taaruf, yang namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh di sana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua telapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena telapak tangan wanita bukanlah termasuk aurat.

Manfaat Taaruf
   Selain urusan melihat fisik, taaruf juga harus menghasilkan data yang berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya. Hanya semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan dalam koridor syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, nge-date dan seterusnya dengan menggunakan alasan taaruf. Janganlah ta`aruf menjadi pacaran, sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilath antara pasangan yang belum jadi suami-istri ini.
SEMOGA BERMANFAATnote : semua kembali pada individu mana yang mau di pilih , mau taaruf atau melalui proses pacaran... yang terpenting niatnya baik dan tulus, bisa mempertanggungjawabkan jalan apa yang di pilihnya kepada ALLAH dan tidak melanggar norma norma.

Pacaran Versus Ta’aruf

“Yang paling utama dan paling agung adalah cinta karena Allah dan bagi Allah, Cinta mengharuskan cinta terhadap apa yang dicintai Allah, mengharuskan cinta kepada Allah dan Rasulnya. Ada pula cinta karena ada kesamaan jalan, madzhab/harokah/firqah, kerabat, keahlian, tujuan dan lain seabagainya. Ada pula cinta untuk mendapatkan tujuan tertentu dari orang yang dicintai, entah kedudukan, harta, tuntunan, atau pengajarannya. Yang demikian itu merupakan cinta yang hanya tampak di permukaan, yang terlalu cepat sirna karena sirnanya sebab.” (Zaadul Ma’ad; Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah hal 321)
Dan Allah telah berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki yaitu fitnah (godaan) wanita.” (HR. Bukhori dan Muslim, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Pembahasan ini terkait dengan pendekatan sebelum pernikahan,di pembahasan sebelumnya Pacaran adalah perbuatan yang di haramkan dengan melihat fakta dilapangan, yaitu berdua-duan dalam satu tempat, saling pandang memandang, dan adanya interaksi sentuh menyentuh, dll. Yang semuanya adalah dilarang/Haram oleh agama. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mewakili hal yang tidak diperbolehkan tersebut :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Syarh Riyadhus Shalihin An-Nawawi; Syaikh Shalih Al-Utsaimin, hadits no. 1619)
Pacaran sendiri adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir di negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala),
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits di atas menetapkan haramnya meniru mereka (golongan kaum musyrik dan kafir). Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain (selain Islam) yang menjadi ciri golongan tersebut, maka perbuatan semacam itu dilarang/Haram. (Mukhtarat min Kitab Iqtidha’ Ash-Sirathal Mustaqim Mukhalafatu Ash-habil Jahim; Ibnu Taimiyah)
Dalam pacaran tidak ada aturan yang jelas, kalaupun ada aturan yang ditentukan kedua belah pihak(orang yg berpacaran) maka aturan itu tidak ada jaminan untuk tidak melanggar Syari’at, dan juga menjadi jalan tersubur bagi pembuka perbuatan Zina yang telah dijelaskan di atas. Itu dikarenakan sifat pacaran yang tidak memiliki tata aturan yang baku alias tergantung kesepakatan kedua belah pihak (orang yang berpacaran), berbeda dengan Ta’aruf dia memiliki tata cara dan batasan yang telah ditentukan oleh Syari’at sehingga ada jaminan orang yang melakukan ini (Ta’aruf) terhindar dari perbuatan dosa.
Pacaran juga sesuatu yang buruk dilihat dari tujuaannya dimana banyak yang pacaran hanya dengan tujuan untuk senang-senang saja, atau untuk bermain-main, yang intinya tidak ada jaminan untuk serius dalam mengekspresikan Cinta yang Agung yaitu menikah. Sedangkan Ta’aruf sendiri tujuannya adalah untuk serius untuk mengenal calon istri yang didasari niat Ibadah yaitu jalan untuk Menikah. Saya jadi pengen bilang kalau benar-benar Cinta kenapa tidak Ta’aruf dan dilanjutkan menikah??Gitu aja kok Repot,hehe….
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal (Ta’aruf) dengan wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya atau dari wanita itu sendiri, dengan melihat kriteria wanita tersebut sebagaiman Hadits dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah memilih wanita yang taat beragama, maka engkau akan berbahagia. (HR. Bukhori dan Muslim)
“Menikahlah dengan orang yang berpotensi memiliki keturunan dan yang senantiasa mencurahkan mawaddah (cinta) kasih kepadamu ” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dan juga hal-hal lain seperti mengetahui biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan dan diketahui demi baiknya pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau saudara kandung dari wanita tersebut, atau tetangga si wanita ataupun pihak-pihak lain yang dapat member penjelasan. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab se-obyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama seperti diatas.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Selain itu juga sebelum meminang seorang wanita, laki-laki disunahkan untuk melihatnya untuk mengetahui sendiri keadaan fisik dari wanita yang akan dipinag. Sebagaimana 2 Hadits dibawah ini:
Abu Hurairah mengatakan:”Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR. Muslim)
Mughirah bin Syu’bah meriwayatkan, bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya:
“Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.”
Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ad-Darimi).
Dalam hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, baik kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yang berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua telapak tangan, tetapi muka dan dua telapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak bermaksud meminang. Dan selama peminangan itu dikecualikan yaitu dibolehkan hal yang dilarang tadi, maka sudah seharusnya si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sebagai berikut:
“Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah.” (HR. Abu Daud dan di Sahihkan oleh Al-Hakim)
“Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebagian ahli penyelidik memberikan batas, bahwa seorang laki-laki di zaman kita sekarang ini boleh melihat perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan mahram-mahramnya yang lain yaitu dengan boleh melihat wanita itu dalam keadaan melepas jilbabnya.”(Halal-Haram; Syaikh Yusuf Al-Qardhawi)
Dan dalam ta’aruf seseorang tidak diperbolehkan berpergian hanya berdua saja, kecuali ada mahram dari si wanita yang menemani. Ini adalah larangan terkait berkhalwat(berdua-duan) sebagaimana hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan. ” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Maka perbedaannya (Pacaran dan Ta’aruf) adalah terkait niat, dan batasannya. Pacaran Niatnya kebanyakan adalah untuk main-main atau kata lain gak ada niat Ibadahnya, sedangkan Ta’aruf niatnya memang untuk Ibadah (menikah karena cinta kepada Allah). Pacaran tidak ada batasan yang jelas, sedangkan Ta’aruf ada batasan untuk tidak boleh berkhalwat (Berdua-duan tanpa di dampingi mahram, baik di rumah ataupun ketika pergi jalan-jalan keluar).

Mengapa Kita Harus Pakai Jilbab?

Hal ini sangat penting bagi semua wanita Muslim untuk memahami pentingnya jilbab dalam Islam. Namun banyak wanita datang dengan alasan yang lemah agar tidak memakainya. Namun kami akan mengambil beberapa alasan ini dan mendiskusikan kelemahan argumen ini.
Alasan yang paling umum pertama adalah bahwa Saya tidak yakin tentang perlunya jilbab . Namun jika seorang wanita yakin Islam maka bagaimana bisa dia tidak yakin tentang salah satu dari perintah itu Jika ia percaya dalam keilahian Allah dan pesan-pesan nabi SAW maka mutlak diperlukan untuk diyakinkan bahwa perintah tentang mengenakan jilbab dalam sunnah nya.
Sebagai kesimpulan dapat dengan mudah ditentukan bahwa jilbab merupakan bagian penting dari kehidupan Muslimah itu. Jilbab tidak hanya diperlukan karena mereka menyediakan kesopanan dan kesusilaan yang integral untuk setiap wanita iman tetapi juga karena Allah telah diamanatkan jilbab di berbagai kali di seluruh Al-Qur an. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak menggunakan jilbab adalah valid.