Laman

Rabu, 14 Desember 2011

ta'aruf dalam ajaran islam

Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah - taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
 Perbedaan taaruf dengan pacaran

   Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli mobil second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus mobil itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan mobil itu.
  Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir mobil yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf, seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi mobil itu sendiri.

Proses taaruf

Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak pria dan wanita dipersilakan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan cuma berdua saja. Harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi, taaruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.

Tujuan taaruf

Taaruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting. Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan cuma sekedar curi-curi pandang atau ngintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto, lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada salahnya untuk dilihat. Khusus dalam kasus taaruf, yang namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh di sana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua telapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena telapak tangan wanita bukanlah termasuk aurat.

Manfaat Taaruf
   Selain urusan melihat fisik, taaruf juga harus menghasilkan data yang berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya. Hanya semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan dalam koridor syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, nge-date dan seterusnya dengan menggunakan alasan taaruf. Janganlah ta`aruf menjadi pacaran, sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilath antara pasangan yang belum jadi suami-istri ini.
SEMOGA BERMANFAATnote : semua kembali pada individu mana yang mau di pilih , mau taaruf atau melalui proses pacaran... yang terpenting niatnya baik dan tulus, bisa mempertanggungjawabkan jalan apa yang di pilihnya kepada ALLAH dan tidak melanggar norma norma.

Pacaran Versus Ta’aruf

“Yang paling utama dan paling agung adalah cinta karena Allah dan bagi Allah, Cinta mengharuskan cinta terhadap apa yang dicintai Allah, mengharuskan cinta kepada Allah dan Rasulnya. Ada pula cinta karena ada kesamaan jalan, madzhab/harokah/firqah, kerabat, keahlian, tujuan dan lain seabagainya. Ada pula cinta untuk mendapatkan tujuan tertentu dari orang yang dicintai, entah kedudukan, harta, tuntunan, atau pengajarannya. Yang demikian itu merupakan cinta yang hanya tampak di permukaan, yang terlalu cepat sirna karena sirnanya sebab.” (Zaadul Ma’ad; Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah hal 321)
Dan Allah telah berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki yaitu fitnah (godaan) wanita.” (HR. Bukhori dan Muslim, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Pembahasan ini terkait dengan pendekatan sebelum pernikahan,di pembahasan sebelumnya Pacaran adalah perbuatan yang di haramkan dengan melihat fakta dilapangan, yaitu berdua-duan dalam satu tempat, saling pandang memandang, dan adanya interaksi sentuh menyentuh, dll. Yang semuanya adalah dilarang/Haram oleh agama. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mewakili hal yang tidak diperbolehkan tersebut :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Syarh Riyadhus Shalihin An-Nawawi; Syaikh Shalih Al-Utsaimin, hadits no. 1619)
Pacaran sendiri adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir di negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala),
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits di atas menetapkan haramnya meniru mereka (golongan kaum musyrik dan kafir). Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain (selain Islam) yang menjadi ciri golongan tersebut, maka perbuatan semacam itu dilarang/Haram. (Mukhtarat min Kitab Iqtidha’ Ash-Sirathal Mustaqim Mukhalafatu Ash-habil Jahim; Ibnu Taimiyah)
Dalam pacaran tidak ada aturan yang jelas, kalaupun ada aturan yang ditentukan kedua belah pihak(orang yg berpacaran) maka aturan itu tidak ada jaminan untuk tidak melanggar Syari’at, dan juga menjadi jalan tersubur bagi pembuka perbuatan Zina yang telah dijelaskan di atas. Itu dikarenakan sifat pacaran yang tidak memiliki tata aturan yang baku alias tergantung kesepakatan kedua belah pihak (orang yang berpacaran), berbeda dengan Ta’aruf dia memiliki tata cara dan batasan yang telah ditentukan oleh Syari’at sehingga ada jaminan orang yang melakukan ini (Ta’aruf) terhindar dari perbuatan dosa.
Pacaran juga sesuatu yang buruk dilihat dari tujuaannya dimana banyak yang pacaran hanya dengan tujuan untuk senang-senang saja, atau untuk bermain-main, yang intinya tidak ada jaminan untuk serius dalam mengekspresikan Cinta yang Agung yaitu menikah. Sedangkan Ta’aruf sendiri tujuannya adalah untuk serius untuk mengenal calon istri yang didasari niat Ibadah yaitu jalan untuk Menikah. Saya jadi pengen bilang kalau benar-benar Cinta kenapa tidak Ta’aruf dan dilanjutkan menikah??Gitu aja kok Repot,hehe….
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal (Ta’aruf) dengan wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya atau dari wanita itu sendiri, dengan melihat kriteria wanita tersebut sebagaiman Hadits dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah memilih wanita yang taat beragama, maka engkau akan berbahagia. (HR. Bukhori dan Muslim)
“Menikahlah dengan orang yang berpotensi memiliki keturunan dan yang senantiasa mencurahkan mawaddah (cinta) kasih kepadamu ” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dan juga hal-hal lain seperti mengetahui biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan dan diketahui demi baiknya pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau saudara kandung dari wanita tersebut, atau tetangga si wanita ataupun pihak-pihak lain yang dapat member penjelasan. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab se-obyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama seperti diatas.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Selain itu juga sebelum meminang seorang wanita, laki-laki disunahkan untuk melihatnya untuk mengetahui sendiri keadaan fisik dari wanita yang akan dipinag. Sebagaimana 2 Hadits dibawah ini:
Abu Hurairah mengatakan:”Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR. Muslim)
Mughirah bin Syu’bah meriwayatkan, bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya:
“Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.”
Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ad-Darimi).
Dalam hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, baik kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yang berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua telapak tangan, tetapi muka dan dua telapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak bermaksud meminang. Dan selama peminangan itu dikecualikan yaitu dibolehkan hal yang dilarang tadi, maka sudah seharusnya si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sebagai berikut:
“Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah.” (HR. Abu Daud dan di Sahihkan oleh Al-Hakim)
“Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebagian ahli penyelidik memberikan batas, bahwa seorang laki-laki di zaman kita sekarang ini boleh melihat perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan mahram-mahramnya yang lain yaitu dengan boleh melihat wanita itu dalam keadaan melepas jilbabnya.”(Halal-Haram; Syaikh Yusuf Al-Qardhawi)
Dan dalam ta’aruf seseorang tidak diperbolehkan berpergian hanya berdua saja, kecuali ada mahram dari si wanita yang menemani. Ini adalah larangan terkait berkhalwat(berdua-duan) sebagaimana hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan. ” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Maka perbedaannya (Pacaran dan Ta’aruf) adalah terkait niat, dan batasannya. Pacaran Niatnya kebanyakan adalah untuk main-main atau kata lain gak ada niat Ibadahnya, sedangkan Ta’aruf niatnya memang untuk Ibadah (menikah karena cinta kepada Allah). Pacaran tidak ada batasan yang jelas, sedangkan Ta’aruf ada batasan untuk tidak boleh berkhalwat (Berdua-duan tanpa di dampingi mahram, baik di rumah ataupun ketika pergi jalan-jalan keluar).

Mengapa Kita Harus Pakai Jilbab?

Hal ini sangat penting bagi semua wanita Muslim untuk memahami pentingnya jilbab dalam Islam. Namun banyak wanita datang dengan alasan yang lemah agar tidak memakainya. Namun kami akan mengambil beberapa alasan ini dan mendiskusikan kelemahan argumen ini.
Alasan yang paling umum pertama adalah bahwa Saya tidak yakin tentang perlunya jilbab . Namun jika seorang wanita yakin Islam maka bagaimana bisa dia tidak yakin tentang salah satu dari perintah itu Jika ia percaya dalam keilahian Allah dan pesan-pesan nabi SAW maka mutlak diperlukan untuk diyakinkan bahwa perintah tentang mengenakan jilbab dalam sunnah nya.
Sebagai kesimpulan dapat dengan mudah ditentukan bahwa jilbab merupakan bagian penting dari kehidupan Muslimah itu. Jilbab tidak hanya diperlukan karena mereka menyediakan kesopanan dan kesusilaan yang integral untuk setiap wanita iman tetapi juga karena Allah telah diamanatkan jilbab di berbagai kali di seluruh Al-Qur an. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak menggunakan jilbab adalah valid.

Sabtu, 19 November 2011

Pandangan Agama terhadap Kesucian dan Hijab

salah satu tanda utama kesucian adalah hijab. Rasa malu, kesucian, dan hijab adalah tiga ihwal yang saling berkaitan erat. Hijab dibangun di atas landasan kesucian, sementara kesucian bersandarkan malu. Sejatinya, rasa malu merupakan pencerminan dari kecendrungan fitrah manusia untuk mengenakan pakaian. Dalam diri manusia, terdapat daya penahan dan pemandu yang disebut malu. Daya ini bisa mencegah manusia dari pelbagai perbuatan yang tidak etis. Terkait hal ini, Al-Quran dalam surat Al-A'raf, ayat 22, mengangkat masalah malu lewat kisah nabi Adam dan Hawa, dan berkata: "Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah terlarang) dengan tipu daya. Tatkala keduanya, telah merasai buah kayu itu, nampakalah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga".
Secara naluriah, manusia tertarik dengan penampilan luar. Kecendrungan ini lebih kuat di kalangan perempuan. Karenanya, kesucian perempuan dalam berbusana, sejatinya merupakan perangkat pengendali hawa nafsu dan mencegah terjadinya sikap pamer diri. Di mata ahli fiqih, hijab adalah sebentuk pakaian yang dikenakan perempuan untuk menutupi tubuhnya dari pandangan lelaki non-muhrim. Allash swt dalam surat Nur ayat 31 berfirman: "Katakanlah pada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka atau ayah mereka".
Busana hijab yang islami adalah busana yang bisa menutupi tubuh manusia dan terhindar dari kesan memamerkan keindahan tubuh. Jika seorang perempuan mengenakan busana hijabnya secara sempuran, sejatinya ia telah memperhatikan masalah kesucian dalam berpakaian. Hijab juga bisa meminimalisir aksi pelecehan terhadap perempuan. Dalam hadis-hadis Nabi, perempuan diibaratkan laksana wewangi harum ataupun setangkai bunga yang lembut. Karena itu, kelembutan dan kesuciannanya harus selalu terjaga. Mengenai hal ini, Allah swt dalam surat Al-Ahzab, ayat 59 berfirman: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya, ke suluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu".
Para ilmuan berpendapat, filosofi diperintahkannya hijab bagi kaum perempuan adalah untuk menyucikan masyarakat, memperkuat keluarga, menjaga harga diri dan posisi perempuan. Ayatollah syahid Motahhari menuturkan: "Filosofi busana muslimah bermula dari masalah yang universal dan mendasar. Islam ingin membatasi segala bentuk kelezatan seksual, baik secara visual, sentuhan maupun bentuk lainnya, hanya terbatas di lingkungan keluarga, dan dalam ikatan pernikahan resmi. Kaum perempuan diperbolehkan berkumpul dengan lelaki non-muhrim, hanya ketika bekerja dan beraktifitas sosial". Dengan demikian, hijab merupakan salah satu faktor yang bisa menciptakan masyarakat yang sehat, dan terjaga dari dekadensi moral. Sehingga manusia bisa memahami nilai-nilai luhur yang sejati dan sempurna.
Saat ini, hijab telah melampaui batas-batas budaya Timur dan Barat. Ketertarikan kaum perempuan untuk mengenakan busana hijab semakin meningkat di berbagai negara. Penulis Barat, Helen Watson, mengkaji beragam pandangan perempuan berhijab di berbagai negara dalam menyikapi fenomena baru kesadaran kaum perempuan untuk berhijab. Dalam tulisannya itu Helen mewawancarai, seorang muslimah Inggris bernama Nadia yang saat ini menjadi mahasiswi jurusan kedokteran. Sejak berumur 16 tahun, Nadia mengenakan busana muslimah. Ketika diminta komentarnya mengenai hijab, Nadia menyatakan: "Kebebasan sejati adalah saat seseorang bisa leluasa melakukan aktifitas sosialnya tanpa harus memerkan kecantikan dirinya. Menurut saya, nilai manusia iotu terletak pada pemikirannya, bukan pada pakaian lahirnya. Saya harus katakan juga, bahwa pilihan mengenakan hijab adalah keputusan pribadi saya. Bagi saya berbusana hijab, adalah simbol kesetiaan dan janji kita, sebagaimana jika kita memakai cincin pernikahan."
Sementara itu, menurut Maryam, muslimah lainnya asal Aljazair, yang telah bermukim di Perancis selama 10 tahun, dan bekerja sebagai buruh pabrik, hijab telah memberikan kebebasan yang lebih padanya di lingkungan kerja. Maryam menuturkan: "Saya adalah perempuan yang berpegang teguh pada malu dan kesucian. Mengenakan hijab, justru membuat kesulitan di tempat kerja saya menjadi lebih mudah. Pada dasarnya, hijab bukanlah ancaman bagi saya.
Helen Watson di akhir kajiannya menyimpulkan, bahwa hijab bagi Nadia dan perempuan sepertinya, merupakan simbol nyata dari iman dan akidah serta sumber kebanggaan bagi mereka. Helen dalam telaahnya itu, tak juga menemukan pandangan perempuan muslimah yang menganggap hijab sebagai masalah yang bisa merendahkan martabat kaum perempuan. Menurutnya, hijab merupakan penegasan nyata untuk menjaga nilai-nilai spritual, dan pentingnya menghidupkan kembali sistem moral. Akhirnya, Helen Watson berkesimpulan, hijab bagi mereka yang terampas hak-hak sosialnya, dan masyarakatnya mengalami krisis sosial, bisa dijadikan sebagai alat protes terhadap konsumerisme dan westernisasi.
Para ilmuan berkeyakinan, diabaikannya masalah hijab bisa menyebabkan martabat kewanitaan kaum perempuan dipertanyakan. Suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan perempuan sebagai komoditas ekonomi, niscaya bakal mengalami krisis identitas, kebejatan moral dan berbagai masalah sosial lainnya. Gholam Ali Haddad-Adel, Ketua Parlemen Republik Islam Iran, dalam bukunya, Budaya Telanjang dan Ketelanjangan Budaya, menulis: "Mengenakan hijab secara tidak sempurna, bisa merendahkan martabat perempuan, hingga bisa menghinakkanya menjadi semacam barang dagang. Perempuan yang memamerkan tubuhnya di muka umum, sejatinya tidak lagi memperhatikan identitas kemanusiaan yang disangdangnya. Perempuan semacam itu, pada dasarnya telah menjadi tawanan bagi dirinya sendiri. Ia seperti pemilik toko yang selalu sibuk memikirkan untuk mengubah dekorasi dan etalase tokonya.
Sesungguhnya, mengabaikan hijab, justru bisa merendahkan kedudukan kaum perempuan. Beberapa waktu lalu, salah satu jalan protokol di kota Victoria, Australia, dipasang sebuah papan iklan yang menggambarkan perempuan sebagai alat pemuas seksual. Iklan tersebut sepertinya hendak mengajarkan kepada generasi muda bahwa perempuan bisa dilecehkan. Lembaga Anti-Perdagangan Perempuan Asia Pasifik dalam laporannya menyatakan: "Kini kita hidup dalam dunia bebas yang penuh dengan kebejatan moral. Dalam beberapa dekade terakhir ini kita kian dipenuhi dengan produksi komoditas seksual dan pemanfaatan perempuan sebagai alat bisnis. Selain itu, saat ini kita banyak menjumpai berbagai bentuk kebejatan moral yang bisa merendahkan martabat kaum perempuan. Tenu saja masalah ini memerlukan kajian dan telaah yang mendalam."
Institusi keluarga adalah ikatan pernikahan yang paling suci. Untuk mempertahankan institusi sosial yang paling mendasar ini, hijab dan kesucian merupakan faktor penting yang amat berpengaruh dalam mempertahankan keberadaan institusi keluarga. Para ilmuan sosial meyakini, sikap memegang teguh akidah dan hukum agama, temasuk masalah hijab, bisa meminimalisir terjadinya krisis sosial. Psikolog asal AS, Paul Vitz dalam bukunya Agama, Pemerintah, dan Krisis Keluarga menulis: "Akar persoalan dan masalah yang menjerat Barat sejatinya kembali pada pernyataan Nietzsche yang berkelakar bahwa Tuhan telah mati. Sehingga kita bisa berbuat apa saja". Paul Vitz berpendapat: "Agama memiliki kaitan erat dengan kelestarian keluarga. Selama sekularisme, individualisme, konsumerisme, dan dekadensi moral masih menguasai peradaban Barat, maka proses keruntuhan institusi keluarga dan moral akan terus berlanjut".
Sebagai penutup acara ini, laporan penelitian Agama, Sekularisme dan Hijab dalam kehidupan sehari-hari di Turki menunjukkan bahwa selama empat tahun belakangan, jumlah kaum perempuan berhijab di Turki meningkat lima persen, dari 64,2 persen menjadi 69,4 persen.

KEUTAMAAN HIJAB

Pertama, Hijab merupakan tanda ketaatan seorang muslimah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firmanNya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
Allah juga telah memerintahkan para wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An Nuur: 31)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah.” (QS. Al Ahzab: 33)
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Kedua, Hijab itu Iffah (Menjaga diri).
Allah menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindar dan menahan diri dari perbuatan dosa, karena itulah Allah menjelaskan manfaat dari hijab ini, “karena itu mereka tidak diganggu.” Ketika seorang muslimah memakai hijabnya dengan benar maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa godaan dan timbulnya minat untuk melakukan kejahatan bagi mereka.
Ketiga, Hijab itu kesucian.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
Allah subhanahu wa ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mukmin, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hati pun tidak akan bernafsu. Pada keadaan ini maka hati yang tidak melihat maka akan lebih suci. Keadaan fitnah (cobaan) bagi orang yang banyak melihat keindahan tubuh wanita lebih jelas dan lebih nampak. Hijab merupakan pelindung yang dapat menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah berfirman:
إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
“Jika kalian adalah wanita yang bertakwa maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab: 32)
Keempat, Hijab adalah pelindung.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Kelima, Hijab itu adalah ketakwaan.
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf: 26)
Keenam, Hijab menunjukkan keimanan.
Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah berfirman tentang hijab kecuali bagi wanita-wanita yang beriman, sebagaimana firmannya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita beriman.” (QS. An-Nuur: 31), juga firman-Nya: “Dan istri-istri orang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Dalam ayat-ayat di atas Allah menghimbau kepada wanita beriman untuk memakai hijab yang menutupi tubuhnya. Ketika seorang wanita yang benar imannya mendengar ayat ini maka tentu ia akan melaksanakan perintah Tuhannya dengan senang hati. Maka bagaimanakah iman seorang wanita yang mengetahui ada perintah dari Rabbnya kemudian ia tidak melaksanakannya, bahkan ia melanggarnya dengan terang-terangan di hadapan umum !!! (contohnya mengumbar aurat di muka umum).
Ketujuh, Hijab adalah rasa malu.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلىَ : إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya yang didapatkan manusia pada ucapan nubuwwah yang pertama kali: Jika kalian tidak malu maka lakukanlah perbuatan sesuka kalian.” (HR. Bukhari)
Wanita yang mengumbar auratnya tidak disangsikan lagi bahwa tidak ada rasa malu darinya, ia mengumbar auratnya di mana-mana tanpa ada perasaan risih darinya, ia menampilkan perhiasan yang tidak selayaknya dibuka, ia memamerkan barang berharganya yang pantasnya hanya layak untuk ia berikan kepada suaminya, ia membuka sesuatu yang Allah perintahkan untuk menutupnya!
Kedelapan, Hijab adalah ghirah (rasa cemburu).
Hijab berbanding dengan perasaan cemburu yang menghinggapi seorang wanita sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju pada istri dan anak wanitanya. Betapa banyak pertikaian yang terjadi karena wanita, betapa banyak tindakan buruk yang terjadi kepada wanita serta betapa banyak seorang lelaki gagah yang menjadi rusak karena wanita. Wahai para wanita jagalah aurat kalian supaya kalian menjadi wanita-wanita yang terhormat! Wahai para lelaki perintahkanlah kepada keluargamu untuk menutup auratnya dan cemburulah kepada orang-orang dekatmu yang membuka auratnya di hadapan orang lain karena tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak mempunyai perasaan cemburu!.